PTSemen Gresik (Persero) Tbk adalah perusahaan yang bergerak dibidang industri semen dan merupakan produsen semen yang terbesar di Indonesia.Pada tanggal 20 Desember 2012, PT Semen Indonesia (Persero) Tbk resmi berganti nama dari sebelumnya bernama PT Semen Gresik (Persero) Tbk.Diresmikan di Gresik pada tanggal 7 Agustus 1957 oleh Presiden RI pertama dengan kapasitas terpasang 250.000 ton
AMDALmulai berlaku di Indonesia tahun 1986 dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1086. Karena pelaksanaan PP No. 29 Tahun 1986 mengalami beberapa hambatan yang bersifat birokratis maupun metodologis, maka sejak tanggal 23 Oktober 1993 pemerintah mencabut PP No. 29 Tahun 1986 dan menggantikannya dengan PP No. 51 Tahun 1993 tentang AMDAL dalam rangka efektifitas dan efisiensi
ProyekPembangunan Giant Sea Wall. Permasalahan pembebasan lahan tak asing lagi bagi masyarakat pemilik lahan dan warga, itu merupakan berita yang kurang menggembirakan. sejumlah elemen masyarakat yang selama ini menolak kehadiran Giant Sea Wall di kawasan itu akan melakukan perlawanan sengit apabila pemerintah akhirnya menggunakan pendekatan
AnalisisMengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) diperlukan karena adanya undang-undang dan peraturan pemerintah yang menghendaki adanya AMDAL untuk dilakukan pada proyek-proyek yang akan dibangun. AMDAL harus dilakukan agar kualitas lingkungan tidak rusak karena adanya proyek-proyek pembanguan.
Perkembangan pembangunan perumahan dan permukim- an di Indonesia dikategorikan dalam beberapa era, yaitu sebelum -1990, 1990-2004, dan setelah Indonesia sebagai negara yang menyimpan sebagian cadang- an minyak bumi dunia menjadi sasaran investasi, yang mem- bawa dampak positif bagi perekonomian Indonesia dengan 2004.1 berkembangnya
NusaDua - Pembangunan infrastruktur masih banyak menyisakan pekerjaan tambahan, yakni persoalan lingkungan. Berbagai proyek infrastruktur diakui oleh Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto kurang
Ya telah berlangsung pembangunan di Pulau Komodo sejak 2020 lalu demi meraih satu status lain, "ramah pengunjung". Itulah mengapa proyek ini sebaiknya berjalan dengan mengkaji ulang kepentingan lingkungan dan memperhatikan dampak yang lebih kompleks yaitu ekonomi kerakyatan. Atau, apakah lebih baik jika proyek ini dihentikan saja?
PanduanPenilaian AMDAL atau UKL/UPL untuk Kegiatan Pembangunan Pelabuhan Total volume dari tanah galian • Pada lokasi proyek yang diajukan ini, apakah akan ada penggalian? [ ] Ada [ ] Tidak • Bila ya, sebutkan estimasi volume tanah galian tsb.:_____ lihat 4.3.3!) Struktur pemukiman yang khas atau ciri tunggal yang penting di lokasi
PyYaS. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK akan merevisi aturan menyangkut analisis mengenai dampak lingkungan amdal karena dinilai masih banyak kelemahan. Demikian disampaikan Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta, baru-baru ini. Kementerian, katanya, sudah berdiskusi dengan para penasehat dan menilai, aturan amdal memang harus dicek lagi secara keseluruhan dari berbagai dimensi, baik regulasi, dan tata laksana. “Beberapa tantangan seperti kualitas dokumen dan peran pemrakarsa penyusun, soal sertifikat, konsultan, dan pengawasan KLHK sendiri. Juga lembaga pelatihan dan kompetensi, penilai, Komisi Amdal, kualitas kelembagaan, termasuk pengaturan SK-nya,” katanya. Perbaikan aturan amdal itu penting karena kebijakan pembangunan sekarang meminta investasi harus cepat masuk hingga tak menghambat perizinan. Dengan begitu, aturan amdal harus kuat. “Bukan tidak mungkin ya dengan ada fasilitasi perizinan cepat ini terjadi juga penyalahgunaan. Karena itu, bagian-bagian yang harus dijaga dan diawasi jadi perhatian. Kementerian sudah rencanakan bahas dalam-dalam tentang amdal ini untuk memperkuat pemikiran dari kementerian dalam evaluasi amdal.” Dia contohkan, dari sisi penegakan hukum. “Jangan-jangan sudah harus mulai dilihat pengambil kebijakannya gimana? Itu belum pernah kita evaluasi, terutama mekanisme kontrol, loopholes celah-red yang jadi sumber korupsilah, jadi proses keseluruhan kita perkuat. Peraturannya diubah? Iya dong, kan kalo nanti sudah dievaluasi, revisi ke peraturan,” katanya. Merevisi aturan amdal, kata Siti, seharusnya tak terlalu sulit. Apalagi, katanya, bidang pengawasan sudah jadi bagian yang harus ditingkatkan. “Ada skala-skalanya. Ada amdal nasional, amdal provinsi, dan amdal kabupaten. Kemungkinan penyimpangan kan tahu sendiri, banyak persoalan kabupaten, tidak terkontrol.” Dia khawatir, upaya percepatan dan perbaikan perizinan dengan percepatan proses perizinan amdal itu jadi alasan mempercepat dengan gampang. “Barangkali jadi ruang juga untuk bertransaksi cepat. Jadi bagian-bagian itu yang harus kita kontrol. Saya kira itu.” Dalam pembahasan revisi aturan amdal, katanya, akan melibatkan berbagai pihak. Kata Siti, makin banyak yang merespon dan memberi masukan lebih bagus. “Ini kan dimensi publik kuat. Semua sistem yang sedang kita rintis harus sudah established mapan-red sebelum periode ini berakhir. Sekarang harus mikir-mikir gimana supaya semua established.” Rosa Vivien Ratnawati, Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya PSLB3 KLHK mengatakan, amdal sangat perlu, dengan model tak seperti sekarang. “UU Lingkungan No 32 punya komitmen dari perencanaan, pemanfaatan, kemudian pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum. Jadi amdal itu sebetulnya adalah di pengendalian,” katanya. Untuk perencanaan itu, sebenarnya ada sebutan inventarisasi, rencana pengelolaan lingkungan hidup, juga Kajian Lingkungan Hidup Strategis. “Sebenarnya, [kalau] instrumen perencanaan itu sudah berjalan. Sudah ada instrumen semua. Amdal akan jauh lebih ringan. Tak lama, karena seperti daya hukum, daya tampung, masalah peruntukan, ada di proses perencanaan,” katanya. Sumber mata air dari Pegunungan Kendeng, jadi sumber hidup warga dan tanaman pertanian masyarakat sekitar. Apakah penerbitan amdal bermasalah tak jadi kekhawatiran pemerintah yang bisa mengancam hidup rakyat ke depan? Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia Ada hukum semu Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Institut Pertanian Bogor IPB mengatakan, di Indonesia, setiap tahun tak kurang studi lingkungan di 539 daerah, baik provinsi, maupun kabupaten/kota, belum di pusat. Potensi uang suap perizinan per tahun di Indonesia sekitar Rp51 triliun, termasuk proses penilaian dan pengesahan amdal. “Dokumen amdal dapat tersusun tanpa harus disusun oleh ahlinya. Jadi, penyusun amdal, misal, tetapi tiba-tiba bisa menjadi penilai amdal. Ada dokumen amdal dan perizinan secara administrasi sah, tetapi sesungguhnya semua dokumen administrasi itu palsu. “Sisi lain, tingginya kecepatan pembangunan yang terkait hak-hak atas tanah, izin-izin pelepasan kawasan hutan atau penggunaan kawasan- lindung yang dilarang, mudah terjadi pelanggaran,” katanya. Kondisi itu terjadi, kata Hariadi, karena ada semacam pseudo-legal, atau hukum semu dalam proses amdal. Disebut pseudo-legal, karena bentuk institusi itu semacam hybrid antara legal dan ekstra-legal. Dia bilang, terjadi dualisme, pertama, urusan formal sebagai bentuk pelaksanaan tugas negara. Dengan segala bentuk simbol-simbol pemerintahan resmi, katanya, seperti kop surat, ruang rapat, honorarium dari APBN/APBD, dan lain-lain. Kedua, urusan pelayanan dan hubungan dengan masyarakat yang dilipat jadi urusan personal antara pejabat, konsultan dan pengusaha. “Relasi dibentuk oleh institusi pseudo-legal memecah pelaksanaan pemerintahan jadi dua urusan yang menjadi satu kesatuan,” katanya. Kondisi ini, berdasarkan pada pengalaman dia saat terlibat dalam Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam GNPSDA yang digawangi Komisi Pemberantasan Korupsi. Dualisme inilah, titik mula muncul tindakan korupsi. Jadi, medium penguasaan sumber daya alam, dapat diperoleh dengan keistimewaan, tanpa melalui prosedur seharusnya. Dalam sosialisasi, misal, terdapat kooptasi dari pimpinan atau klien, kompromi-kompromi berjalan seiring tugas-tugas dan perintah-perintah, serta perlahan-lahan. “Akar masalahnya informasi tertutup dan dipertahankan agar tetap berstatus rahasia umum. Dijaga dan dipelihara agar medium penguasaan sumber daya alam dapat terus dimanipulasi,” katanya. Hariadi menyebut, sebagai “gambar besar” tujuan kebijakan lingkungan hidup, kesejahteraan maupun keadilan sosial sudah digembosi dari dalam sejak awal. Hal-hal yang biasa terjadi, katanya, seperti manipulasi peta, pemerasan dengan atau tanpa mengatas-namakan atasan, tawaran tambahan atau pengurangan luas izin sebagai alat negosiasi. Ada juga biaya pengesahan dokumen amdal dan izin lingkungan, memperlambat proses dengan pasal-pasal karet, menyimpangkan proses, misal tak melalui BKPM/D atau melalui unit kerja satu-pintu tetapi ongkos sama saja. Ada pula konsultan sebagai arena transaksi yang sudah ditunjuk oleh pejabat tertentu. “Persoalannya bukan semata-mata harus dibebankan kepada perorangan ataupun kelompok, juga ada persoalan sistem perizinan dan regulasi lemah, sebagai penyebab,” ujar dia. Meski begitu, katanya, sebaik-baik regulasi, senantiasa ada celah korupsi apabila terdapat situasi eksklusif dalam sistem perizinan itu sendiri. “Pengalaman GNPSDA-KPK menunjukkan, apabila tak ada penindakan, agenda-agenda pencegahan tak berjalan baik, kecuali kepemimpinan kuat.” Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, soal amdal, memang bermasalah. Amdal, katanya, hanya persyaratan administratif untuk proses perizinan. Padahal, fungsi amdal untuk menentukan kelaikan atau boleh tidak suatu proyek atau kegiatan berjalan. “Ketika suatu kegiatan dikatakan bisa atau layak secara lingkungan, amdal berfungsi sebagai alat pengendali bagi pemerintah untuk menilai ketaatan pemrakarsa dalam menjalankan kegiatan.” Problemnya, kata Yaya, panggilan akrabnya, selain soal amdal, juga kapasitas pemerintah mulai pusat, provinsi maupun daerah, dalam pemantauan tak sebanding dengan izin yang dikeluarkan. Dengan begitu, laporan reguler rencana kelola dan rencana pemantauan lingkungan RKL/RPL sangat tergantung pada inisiatif pemrakarsa untuk melaporkan. Mengenai ucapan menteri akan libatkan masyarakat sipil dalam revisi aturan amdal, katanya, mereka siap. Hal terpenting dan utama kini, katanya, pemerintah tegakkan hukum karena kondisi lingkungan sudah parah. Keterangan foto utama Warga tolak tambang dan pabrik PT Semen Indonesia di Pegunungan Kendeng, karena mengancam kehidupan mereka, salah satu sumber air. Amdal penyusun ditemukan bermasalah, seperti tak memasukkan data goa, dan sumber mata air dengan benar. Wargapun menang gugatan dan Mahkamah Agung memutuskan pemerintah cabut izin lingkungan PT Semen Indonesia. Walaupun, putusan MA ini seakan tak bergigi karena Pemerintah Jateng, keluarkan izin lingkungan baru, dengan amdal lama. Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia Artikel yang diterbitkan oleh emisi karbon, featured, Hutan Hujan, hutan indonesia, hutan lindung, jakarta, jawa, kelapa sawit, kerusakan lingkungan, Konflik Sosial, pencemaran, Pertambangan, Perubahan Iklim, pulp and paper, sumber daya air
Pembangunan infrastruktur fisik menjadi salah satu langkah yang diambil pemerintah untuk melakukan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Republic of indonesia. Berbagai infrastruktur ini terbukti mampu mempermudah jalur transportasi di berbagai provinsi. Meski demikian, tanpa rumusan kebijakan yang berwawasan lingkungan, pembangunan akan membawa dampak buruk pada kualitas lingkungan hidup. “Penyediaan infrastruktur tidak semata-mata dilihat dari sudut komersial turn a profit, tetapi harus dilihat terutama dari manfaat dan benefit bagi rakyat,” ujar Nurhadi Susanto saat mengikuti ujian terbuka program doktor di Fakultas Hukum UGM, Kamis 24/5. Dalam disertasinya, ia menuangkan hasil penelitian yang ia lakukan terkait perlindungan lingkungan hidup dalam pengaturan jalan tol dengan studi kasus pada pembangunan jalan tol Trans-Jawa ruas Solo-Kertosono. Perlindungan lingkungan hidup dalam proses pembangunan ini, ujarnya, menjadi penting terutama mengingat daerah-daerah di Pulau Jawa sendiri memiliki Indeks Kualitas Lingkungan Hidup ILKH yang berada pada angka 52,44 atau masuk pada kategori “sangat kurang” pada tahun 2016 silam. Karena itu, perlu kehati-hatian yang lebih dalam merumuskan kebijakan pembangunan jalan tol di Pulau Jawa agar tidak memperparah kondisi yang ada sebelumnya. Ia menjelaskan, kondisi lahan yang dilewati pembangunan jalan tol adalah lahan pertanian produktif, khususnya pertanian tanaman pangan, dengan beberapa kabupaten yang dilewati pembangunan jalan tol yang meliputi Kabupaten Boyolali, Karanganyar, Sragen, Ngawi, Magetan, Madiun, dan Nganjuk merupakan wilayah berbasis pertanian dengan produktifitas tinggi. “Perubahan fungsi lahan yang sebelumnya berupa sawah, hutan, dan pemukiman menjadi jalan akan memengaruhi fungsi lahan tersebut dalam jangka panjang. Kerusakan akses jalan sekitar lokasi pembangunan serta pencemaran yang muncul khususnya polusi udara juga dirasakan sangat mengganggu masyarakat sekitar lokasi pembangunan,” imbuh pria kelahiran 43 tahun yang lalu ini. Pembangunan ini, ujar Nurhadi, menimbulkan dampak yang tidak sedikit baik bagi kualitas lahan maupun bagi masyarakat secara lansgung. Meski demikian, ia menemukan bahwa pemahaman masyarakat terhadap perlindungan lingkungan belum mengarah pada kemungkinan-kemungkinan dampak kerusakan pada jangka yang panjang. “Dampak yang muncul dalam tahap konstruksi adalah perubahan kohesi sosial yang tidak bisa dihindari. Dampak lain adalah ketidaksiapan masyarakat yang lahannya terkena pembangunan jalan tol untuk beralih profesi selain menjadi petani, dan kondisi tersebut tidak diantisipasi oleh pemrakarsa maupun pelaksana pembangunan jalan tol,” jelasnya. Untuk itu, ia menyarankan agar pemerintah selaku pelaksana pembangunan serta pihak-pihak terkait lebih memperhatikan dampak lingkungan hidup dan sosial yang diakibatkan kegiatan pembangunan juga memperkuat perlindungan lingkungan hidup. Selain itu, pemerintah juga perlu memperkuat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. “Peningkatan pemahaman lingkungan hidup memerlukan kerja sama dan dukungan seluruh pihak, sehingga perlu menghidupkan kembali peran masyarakat dan pemerintah yang berwawasan lingkungan hidup dalam pembangunan,” pungkas Nurhadi. Humas UGM/Gloria
Presiden Joko “Jokowi” Widodo menegaskan bahwa kabinet di bawah periode pemerintahannya yang kedua akan menitikberatkan pada percepatan investasi dan penyediaan lapangan pekerjaan. Implikasinya, ada penghapusan perizinan yang menghambat investasi dan pembangunan, salah satunya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup AMDAL yang menurut pemerintah sering berbelit-belit dan akhirnya menghambat investasi yang masuk. Sebagai pengganti AMDAL, pemerintah, melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang, mengusulkan Rencana Detail Tata Ruang RDTR. AMDAL merupakan analisis dan informasi tentang dampak penting, meliputi alamiah, kimia, fisik, biologi, sosial-ekonomi-budaya hingga kesehatan masyarakat, akibat suatu kegiatan atau usaha. Sedangkan, RDTR bukan merupakan dokumen ilmiah yang memuat soal kajian risiko lingkungan, sosial, hingga budaya seperti AMDAL, melainkan rencana terperinci atas tata ruang sebuah wilayah. Sehingga, rencana ini mendapatkan tentangan dari para ahli dan aktivis lingkungan karena tidak menyelesaikan permasalahan lingkungan, malah membebankan pemerintah sendiri. Selain masalah lingkungan, ada tiga alasan mengapa RDTR belum bisa menggantikan AMDAL. 1. Pemindahan beban dari pelaku usaha ke pemerintah RDTR merupakan rencana tata ruang terperinci dari wilayah kabupaten/kota dan dipakai sebagai arahan bagi pengambilan kebijakan dan pembangunan yang tidak memuat informasi detail tentang dampak suatu kegiatan usaha terhadap lingkungan. Sementara, AMDAL merupakan kajian akademik yang dipakai pemerintah untuk memutuskan apakah kegiatan tersebut layak lingkungan atau tidak sebagai persyaratan untuk mendapatkan izin usaha atau kegiatan. Sebagai kajian akademik, proses penyusunan AMDAL sangat bergantung kepada ketersediaan data, proses revisi dan kapasitas para penyusun. Pelaku usaha yang bertanggung jawab atas penyusunan AMDAL tersebut. Sementara untuk RDTR, proses penyusunan adalah tanggung jawab pemerintah kabupaten atau kota. Atau dengan kata lain, jika menggunakan RDTR akan ada perpindahan beban menyusun analisis dampak penting lingkungan, kesehatan, sosial, ekonomi, lokal dan budaya dari pelaku usaha ke pemerintah. Beban ini juga termasuk beban biaya yang harus disiapkan pemerintah. 2. RDTR tidak bisa memprediksi risiko jangka panjang Jangka waktu keberlakuan untuk RDTR adalah 20 tahun, yang dapat ditinjau setiap 5 tahun sekali. Artinya, pemerintah harus sudah dapat memprediksi dampak penting hingga 20 tahun ke depan. Pertanyaannya, apakah hal tersebut dapat dilakukan? Mengingat sampai saat ini kita belum memiliki kajian atau sejenisnya yang mampu memprediksi dampak lingkungan dalam rentang waktu yang lama. Beban pemerintah akan berat karena memprediksi dinamika lingkungan selama 20 tahun bukan hal yang mudah. Alasan logisnya karena untuk memprediksi dampak dibutuhkan data yang cukup yang harusnya dimuat dalam “daya dukung dan daya tampung lingkungan”. Sayangnya, kita belum memiliki data daya dukung dan daya tampung secara komprehensif. 3. RDTR sulit dijadikan “defense” pelaku usaha Apabila RDTR dipaksakan untuk mengganti AMDAL, maka ada risiko yang juga dihadapi pelaku usaha. RDTR akan sulit memprediksi dampak kegiatan usaha secara detail dan menyeluruh selayaknya AMDAL. Hal ini membuat pelaku usaha dapat menghadapi risiko, seperti konflik masyarakat, bencana, hingga gugatan masyarakat karena tidak mendapatkan informasi yang lengkap tentang kondisi lingkungan sekitar usahanya. AMDAL memberikan semua informasi tentang dampak lingkungan, sosial, dan kesehatan yang bisa membantu pelaku usaha. Informasi ini penting bagi para pelaku usaha untuk mempersiapkan alternatif kebijakan seandainya diketahui ada potensi konflik atau bencana akibat usaha atau kegiatan mereka. Lebih lanjut, AMDAL umumnya menjadi dasar pembelaan hukum bagi para pelaku usaha apabila mereka harus menghadapi gugatan masyarakat karena AMDAL adalah bukti bahwa kegiatan usaha yang dilakukan sudah dinyatakan layak beroperasi. Pentingnya keberadaan AMDAL juga sudah diakui di negara-negara tetangga. Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Filipina masih menggunakan AMDAL. Bahkan, Vietnam, yang sering disebut sebagai kompetitor Indonesia, menarik investor dengan mengatur kewajiban menyusun AMDAL. Langkah ke depan Dari uraian di atas, pemerintah sebaiknya tetap memberlakukan AMDAL dan tidak menggantinya dengan RDTR yang pelaksanaannya juga belum maksimal. Sebenarnya, pemerintah sudah memperbolehkan RDTR untuk menggantikan AMDAL lewat Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. Hingga kini, baru ada 53 kabupaten/kota yang memiliki RDTR sekitar 10% dari total kabupaten di Indonesia karena memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Angka tersebut menunjukkan bahwa penggantian AMDAL menjadi RDTR belum bisa dilakukan secara maksimal karena penyusunannya membutuhkan waktu dan kapasitas sumber daya manusia, terutama di tingkat daerah. Yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah adalah membenahi sistem penyusunan AMDAL yang ada. Salah satu masalah penyusunan AMDAL adalah prosesnya yang memakan waktu. Hal yang bisa dilakukan adalah memberikan batasan waktu maksimal penyusunan AMDAL. Kendala lainnya adalah keberadaan sumber daya manusia yang bisa menyusun AMDAL sangat terbatas. Berdasarkan laporan Ikatan Nasional Tenaga Ahli Konsultan Indonesia Intakindo, penyusun AMDAL paling banyak tersebar di Jawa Barat dan DKI Jakarta, yaitu di atas 150 orang, hingga Desember 2015. Sementara, Aceh, Nusa Tenggara Barat, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Timur, Papua, Maluku Utara dan Sulawesi Tengah hanya memiliki tidak lebih dari lima orang penyusun AMDAL bersertifikat. Akibatnya, para pelaku usaha harus mendatangkan penyusun AMDAL dari daerah lain yang membutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Sesungguhnya keberadaan AMDAL memang masih dibutuhkan sebagai instrumen pencegahan pencemran dan kerusakan lingkungan, tidak hanya bagi pemerintah, melainkan juga para pelaku usaha. Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di sini.